Pages

Sabtu, 30 Desember 2017

Hermeunitika: Bersilaturahim dengan matematika melalui Iceberg Approach

Hermeneutika adalah kegiatan untuk terjemah dan menerjemahkan suatu hal. Dengan kata lain hermenunitika merupakan bentuk penafsiran akan suatu hal. Bentuk spiritual dari hermeunitika adalah silaturahim. Oleh karena itu, hermeneutika dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan agar siswa dapat bersilaturahim dan mengenal matematika lebih baik. Dengan demikian diharapkan proses pembelajaran matematika mampu membantu siswa untuk memahami matematika dan mengeksplor matematika lebih mendalam dalam rangka menemukan solusi  suatu permasalahan matematika.

Sebagai salah satu bentuk hermeunitika dalam pembelajaran matematika, maka pada perkuliahan filsafat ilmu tertanggal 28 November 2017, Prof menyampaikan hasil presentasi beliau di Chiang Mai tentang The Iceberg Approach of Learning Fractions in Junior High School: Teachers’ Reflection Prior to Lesson Study Activities. Iceberg Approach merupakan gambaran gunung es matematika realistik sebagai salah satu pendekatan untuk berhermeneutika dalam pembelajaran matematika. Artinya bahwa matematika harus dikaitkan  dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Hal ini sejalan dengan pengertian matematika sekolah menurut Ebutt dan Straker yang menyampaian bahwa matematika merupakan kegiatan investigasi, penelusuran pola dan hubungan, problem solving, serta komunikasi. Ini berarti matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.  Realistik dalam hal ini tidak harus mengacu pada hal-hal realitas tetapi lebih kepada benda-benda konkret yang dapat diindra oleh siswa. Frans Moerland (2004) memvisualisasikan proses matematisasi dalam pembelajaran matematika realistik sebagai proses pembentukan gunung es (iceberg). Visualisasi dari proses matematisasi ini digambarkan sebagai berikut.

Berdasarkan iceberg approach oleh Moerland (20014) bagian paling bawah berisi objek-objek matematika yang ada di kehidupan sehari-hari, di atasnya terdapat model matematika, lalu di atasnya lagi ada hubungan angka, dan bagian paling atas berisi notasi formal matematika. Pada pembelajaran matenatika di Indonesia, pendekatan gunung es matematika ini diibaratkan sebagai pendekatan gunung berapi. Matematika formal bagaikan lava di kawah gunung dan matematika sekolah merupakan kehidupan di lembah gunung. Kehidupan di lembah gunung didominasi oleh siswa sekolah dasar, sedangkan lava gunung adalah pemikiran orang dewasa (dalam kasus ini guru). Oleh karena itu, dalam mengajarkan matematika kepada siswa sebaiknya guru melibatkan objek-objek yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Apabila guru langsung mengajarkan matematika kepada siswa dengan memberikan rumus-rumus matematika maka guru tersebut telah memuntahkan lava gunung berapi yang akan merusak kehidupan (pemikiran) siswa. Hal ini akan menjadi bencana bagi siswa jika siswa tidak siap belajar matematika. Sebaliknya matematika akan menjadi berkah bagi siswa yang siap belajar matematika. Dengan demikian sudah selayaknya guru dapat memfasilitasi siswa untuk belajar (bersilaturahim dengan matematika) melalui aktivitas-aktivitas realistik yang dikaitkan dengan kehidupan nyata.

Kamis, 28 Desember 2017

Etik dan estetika dalam pertunjukkan wayang

Pada hari Jumat 24 November 2017 saya berkesempatan menonton pagelaran wayang kulit di Museum Soobudoyo, kawasan alun-alun utara Yogyakarta. Pada kesempatan ini saya pergi bersama teman-teman kelas untuk melihat pertunjukkan wayang kulit kisah ramayana episode kematian rahwana. Episode ini terbagi ke dalam dua scene Alengka Kingdom 1 dan Alengka Kindom 2. Pada scene Alengka Kingdom 1 diceritakan bahwa Rahwana merasa terkejut atas kematian Kumbakarna, adiknya.  Melihat kondisi ini Indrajit beserta dua adiknya Tisirah dan Trinita berusahan menyerang Rama. Dalam medan perang Indrajit berhadapan langsung dengan Laksmana. Pada perang tersebut Indrajit gugur di tangan Laksmana.  Pada scene Alengka Kindom 2 diceritakan bahwa di balik kekuatan Rahwana dia tidak mampu mengalahkan Rama. Dengan kematian Rahwana ini, dunia terbebas dari belenggu kekuatan jahat.
Nilai etik yang dapat diambil berdasarkan pertunjukkan wayang malam itu antara lain:
1. Kesetiaan Indrajit kepada Rahwana Indrajit adalah salah satu putera Rahwana dan menjadi putera mahkota Kerajaan Alengka. Indrajit merupakan ksatria yang sakti mandraguna, dalam perang antara pihak Rama dan Rahwana, Indrajit sering merepotkan bala tentara Rama dengan kesaktiannya. Ia punya senjata sakti yang bernama Nagapasa, apabila senjata tersebut dilepaskan, maka akan keluar ribuan naga meyerang ke barisan musuh. Dalam perang besar tersebut akhirnya Indrajit tewas di tangan Laksmana, adik Rama.
2. Ketulusan cinta Rahwana kepada Sinta. Meskipun Sinta diculik secara paksa, tetapi Rahwana menempatkannya di bagian istana Alengka yang paling indah. Ia tak pernah menjamahnya meskipun bisa saja kalau hanya menuruti nafsu belaka. Rahwana menawarkan cinta. Lebih besar daripada yang sudah diberikan Rama. Cintanya melebihi apa pun di dunia. Ia rela mempersembahkan apa pun untuk Sinta. Hingga hidup Rahwana berakhir ditangan Rama atas nama cinta.
3. Kejahatan akan dikalahkan oleh kebaikan. Sekuat apapun Rahwana beserta anak-anak dan saudara serta bala pasukan yang mendukungnya Ia tetap kalah oleh Rama. Bagaimanapun angkara murka tidak akan abadi di dunia. Besarnya cinta Rahwana menutup mata dan hatinya untuk melakukan segala cara dalam merebut Sinta dari Rama. Hal inilah yang dapat dijadikan pelajaran bahwasanya dalam mencapai sebuah tujuan perlu mengawali dengan proses atau cara yang baik agar hasil yang diperoleh endatangkan keberkahan.
Menurut saya, estetika dari wayang itu sendiri terletak pada bayang-bayang yang tergambar di geber. Kepiawaian sang dalang dalam memainkan wayang menghasilkan bayangan yang luar biasa. Selain itu harmonisasi antara dalang, sinden, pemain gamelan juga turut menambah keindahan wayang tersebut.

Selasa, 26 Desember 2017

Sosialisasi Penulisan Artikel Ilmiah oleh Direktur Pascasarjana UNY

Tepat pada perkuliahan Filsafat Ilmu di akhir pertemuan semester gasal tahun ajaran 2017/2018, mahasiswa program studi magister pendidikan matematika angkatan 2017 mendapat kesempatan untuk berdiskusi bersama direktur pascasarjana UNY. Berkaitan dengan peraturan terbaru terkait yudisium yang mensyaratkan artikel bagian dari tesis terbit di jurnal nasional terakreditasi atau terbit di jurnal internasional bereputasi atau dipresentasikan dalam seminar internasional terindeks birokrasi berupaya sedemikian rupa untuk memfasilitasi siswa dan dosen dalam mempublikasikan artikel ilmiah.  Pada kesempatan ini bapak direktur menyampaikan bahwasanya pada tahun 2018 UNY akan menyelenggarakan banyak seminar internasional yang terindeks. Selain itu disediakan pula waktu untuk berdiskusi dengan konsultan terkait penulisan artikel hingga cara menerbitkannya. Upaya ini akan berdampak positif apabila mahasiswa mampu memanfaatkan betul kesempatan dan waktu yang tersedia. Bapak direktur juga menyampaikan beberapa hal yang berkenaan dengan persiapan publikasi artikel yaitu: penetapan judul tesis dan pembimbing, timeline penulisan artikel publikasi, dan kemampuan bahasa. Birokrasi menjadwalkan bahwasanya awal tahun 2018 diharapkan masing-masing mahasiswa sudah memiliki judul tesi dan pembimbing. Selanjutnya mahasiswa dapat mengatur dan membuat timeline penulisan artikel publikasi. Artikel yang dipublikasikan dapat berupa studi awal dari tesis yang akan dilakukan. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir keterlambatan publikasi artikel ilmiah sehingga mahasiswa dapat lulus tepat atau kurang dari 2 tahun. Terakhir disampaikan terkait kemampuan bahasa yang perlu senantiasa diasah dan ditingkatkan mengingat bahasa adalah jantung daripada komunikasi. Tanpa bahasa tiadalah seseorang mampu berkomunikasi maupun mengkomunikasikan. Demikian sosialisasi penulisan artikel ilmiah pada hari itu yang inshaaAllah bermanfaat bagi kita semua. 

Psikologi Spiritual: Ojo nggege mongso

Pada perkuliahan filsafat ilmu tanggal 12 Desember 2017 kami diberikan wejangan terkait perjalanan kehidupan. Prof berkali-kali mengulang istilah ojo nggege mongso yang dalam falsafah Jawa bermakna “jangan mendahului Kuasa Tuhan”.  Hal ini perlu ditanamkan pada diri bahwa sesuatu terjadi sudah ada masanya masing-masing. Sebagai manusia kita tidak boleh ceroboh atau tergesa-gesa dalam bertindak. Ada masa kita harus melewati sesuatu secara bertahap. Ibarat naik tangga, untuk sampai ke tangga tertinggi kita perlu menapaki tangga terendah terlebih dahulu. Demikian halya untuk membuat 1000 langkah kita perlu membuat langkah pertama. Pu ketika kita ditakdirkan untuk mencapai suatu titik pada masa y kita tidak bisa mendahului takdir dengan meminta sampai pada takdir tersebut pada masa x. Bahwa setiap yang ada dan yang mungkin ada sudah diatur sedemikian sehingga agar saling bersinergi. Pada kesempatan ini, Prof memberikan contoh kasus kehidupan beliau pribadi. Hingga sampai pada tahap terpilihnya beliau menjadi Direktur Pascasarjana UNY tentu tidak serta merta terjadi secara instan. Beliau benar-benar memulai karir dari dosen, ketua jurusan, hingga menjadi profesor dan sekretaris senat, kemudian sempat kembali berstatus hanya dosen biasa yang tidak lama kemudian atas hak prerogatif rektor beliau ditunjuk sebagai direktur progrsam pascasarjana. Satu hal yang sangat saya ingat dan saya pegang atas ucapan beliau hingga saat ini adalah ketika beliau menyampaikan bahwa beliau tidak pernah menargetkan untuk jadi apapun atau siapapun. Beliau hanya seorang manusia biasa yang selalu berusaha sungguh-sungguh dalam melakukan setiap hal. Apabila yang dilakukan ternyata membawa dampak baik dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas maka itulah buah daripada kesungguhan beliau sehingga Allah ridho atas apa-apa yang diusahakan. Oleh karena itu, sebagai calon generasi emas masa depan sudah semestinya kita terus berkarya hingga nanti karya itulah yang akan berbicara dan menjelaskan siapa kita. 

Senin, 16 Oktober 2017

Refleksi perkuliahan Filsafat Ilmu pertemuan 1-4: Mata air kehidupan

Belajar adalah proses membentuk pengetahuan yang berlangsung sepanjang hidup atau yang bisasa disebut sebagai long-life learning. Kesempatan belajar di Program Pascasajana UNY merupakan hal yang saya tunggu-tunggu. Di kampus kehidupan ini saya banyak belajar dari dosen-dosen yang luar biasa keren. Salah satunya adalah Beliau, Prof. Dr. Marsigit, M.A. yang mengampu mata kuliah Filsafat Ilmu. Metode mengajar Beliau saat ini masih sama dengan metode mengajar ketika saya masih di tingkat sarjana. Suasana kelas dibuat sedemikian rupa sehingga meminimalisir jarak antara mahasiswa dan dosen. Hal ini tentu membuat suasana diskusi lebih hidup dan berlangsung dua arah.
Pada pertemuan awal, seperti biasa dilakukan perkenalan mengingat banyak kawan kelas yang berasal dari luar universitas UNY. Setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri dan menyebutkan daerah asal. Pada kesempatan ini Prof juga memperkenalkan diri di hadapan kami semua. Utamanya filosofi dari nama beliau sendiri, Marsigit. Layaknya planet Mars di angkasa, beliau senantiasa berusaha melangitkan potensi dirinya. Sigit yang berarti tampan. Maka Marsigit berarti manusia tampan yang berusaha melejitkan potensinya setinggi mungkin. Hal ini dapat dilihat betapa produktifnya beliau dalam menulis dan berusaha menebar kebaikan untuk dunia melalui tulisan-tulisannya. Kepada para mahasiswa dianjurkan untuk membaca artikel yang beliau sudah sediakan untuk diakses secara gratis melalui laman: powermathematics.blogspot.co.id.
Pada pertemuan kedua dan ketiga, perkuliahan dimulai dengan tes jawab singkat yang berkaitan dengan artikel-artikel yang beliau tulis. Cukup miris melihat hasil tes jawab singkat kami. Kebanyakan dari kami mengalami kegagalan dalam tes jawab singkat tersebut. Namun, Prof selalu menyemangati kami untuk senantiasa membaca, membaca, dan membaca. Karena sejatinya salah dalam filsafat itu berarti benar. Benar karena kami kurang membaca artikel sehingga tidak bisa menjawab soal tes dengan baik. Oleh karena itu pada setiap akhir pertemuan, Beliau selalu menyemangati kami untuk tidak lelah membaca. Bahwa dalam proses belajar itu memang diperlukan ikhlas hati dan ikhlas pikir untuk memperoleh pengetahuan.
Pada pertemuan ke empat dibahas beberapa pertanyaan mahasiswa mengenai filsafat. Salah satu pembahasan mengenai orang malas dan orang rajin. Menurut pandangan filsafat, sebenar-benar orang malas dalam kerajinannya dan rajin dalam kemalasannya. Bahwa rajin dan malas adalah dua hal yang saling melengkapi dan tidak dapat dipandang secara sepihak. Hal ini menjadikan pembelajaran bagi kita yang ingin belajar filsafat bahwa filsafat itu holistic tidak dapat dimaknai secara parsial. 

Akhirnya, saya tutup refleksi perkuliahan filsafat ilmu ini dengan quote berikut ini:
 "Jadilah seperti mata air, bila dirimu air yang jernih, maka sekitarmu akan bersih. Tapi bila dirimu kotor, sekitarmu juga ikut kotor" - Rudy Habibie.

Bahasamu Mencerminkan Duniamu

Seiring berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) informasi tersebar secara cepat dan tidak terbatas. Setiap orang dengan mudah dapat berbagi informasi tentang peristiwa di sekitarnya. Namun, tidak jarang informasi yang disebarkan diboncengi oleh kepentingan pribadi maupun golongan. Akibatnya, banyak fenomena berita hoax yang belum dapat dipercayai kebenarannya. Oleh karena itu pada pertemuan kelima mata kuliah Filsafat Ilmu, Prof memberikan kuliah dengan tema perkembangan ilmu pengetahuan dari waktu ke waktu. Hal ini dimaksudkan agar kami para mahasiswa yang sedang terombang-ambing dalam mencari kebenaran sebuah ilmu dapat berbahasa dengan bijak memilah dan memilih informasi. Lalu, bagaimanakah perkembangan ilmu pengetahuan dari waktu ke waktu?
Secara garis besar disampaikan bahwa secara filosofis perkembangan ilmu pengetahuan dimulai dari zaman awal, zaman modern, zaman pos modern, dan zaman pos pos modern.
Zaman awal
Ilmu pengetahuan mulai berkembang pada masa Socrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Pemikiran Socrates lebih banyak menjadikan manusia sebagai objek filsafatnya. Socrates telah menurunkan filsafat dari langit dan menyebarkannya kepada umat untuk kebaikan dunia. Oleh karena itu, Socrates jarang membicarakan tentang alam, karena menurut hebatnya “ada” nya alam merupakan kuasa Tuhan. Socrates menurunkan ajaran ini kepada Plato. Plato menerangkan bahwa manusia berada dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman (Empirisme) yang bersifat tidak tetap (Relativisme) dan dunia ide (Idealisme) yang bersifat tetap (Absolutisme). Menurut Plato, dunia yang sesungguhnya (Realisme) adalah dunia ide. Oleh sebab itu, filsafat Plato dikenal sebagai Idealisme bahwa kenyataan adalah bayangan dari dunia ide yang abadi.
Aristoletes sebagai murid Plato sering menentang idealisme Plato. Dalam hematnya, “ide” bukan terletak pada dunia abadi (Absolutisme) melainkan pada kenyataan benda-benda itu sendiri (Realisme). Lebih jauh disebutkan bahwa ide yang abstrak tidak dapat dinyatakan tanpa materi, sedangkan materi pasti diwujudkan dalam bentuk yang nyata (konkret). Hasil pemikirannya yang logis memberikan sumbangsih yang banyak dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada abad pertengahan sekitar 12-13 M, muncul ajaran falsafi-teologis dari para Bapa Gereja. Ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari diri manusia. Oleh karena itu mereka menganggap bahwa bumi adalah poros dari segala kehidupan (Geosentrisme). Zaman ini sering dikenal sebagai zaman kegelapan. Pada abad 14-15 M muncul seorang astronom bernama Nicolas Copernicus dari Polandia. Astronom ini menemukan bahwa pusat dari peredaran segala benda langit adalah matahari (Heliocentrisme). Temuan Coperninus ini bertentangan dengan otoritas Gereja, akibatnya dia dihukum mati.  
Zaman modern
Pada masa ini terjadi otoritas kebenaran umat Kristen mengalami kehancuran. Lalu muncullah aliran rasionalisme, empirisme, dan kritisme. Aliran Realisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Kaum rasionalis ini percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran, sehingga ilmu pengetahuan bersifat analitik apriori (sudah ada sebelum diketahui). Pelopor aliran empirisme adalah David Hume (1711-1776). Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa ilmu pengetahuan diperoleh (sintetik) dari indera setelah mengalami kejadian (posteriori). Terakhir, aliran kritisisme di pelopori oleh Imanuel Kant (1724-1804). Immanuel Kant mencoba untuk mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang betentangan tersebut. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh dan salah separuh. Menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia, yaitu sintetik apriori.
Zaman pos modern
Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak bisa dilewatkan adalah positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap, yaitu: teologis, metafisis, dan positif-ilmiah. Bagi era pos modern pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar secara ilmiah apabila dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti (saintifik). Pemikiran ini menyebabkan lahirnya fenomena Power Now yang menempatkan kekuasaan Tuhan (absolut) di bawah kuasa positif-ilmiah manusia.
Zaman pos pos modern
Pada zaman pos pos modern Ilmu pengetahuan adalah bahasa. Bahasamu mencerminkan dirimu, tulisanmu, pendapatmu, pemikiranmu, sehingga sebenar-benar bahasamu adalah duniamu. Oleh karena itu, apabila kamu ingin membangun dunia lebih baik maka mulailah dengan berbahasa yang benar, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan.  

Demikian, perkembangan ilmu pengetahuan yang dimulai dari seorang guru Socrates kemudian berkembang dan terus mengalami kemajuan hingga zaman pos pos modern. Bahwa ilmu pengetahuan adalah bahasa yang mencerminkan dunia.